Prosesi Iriban
Prosesi Iriban adalah sebuah praktik berkelanjutan dari para leluhur untuk merawat mata air. Tradisi resik banyu ini adalah bagian yang melekat pada masyarakat lereng gunung. Di dusun kami disebut iriban, di desa lain ada yang menyebutnya dengan susuk wangan atau sadran banyu. Namun, pada hakikatnya sama yaitu sebuah tradisi untuk menjaga dan merawat sumber air.
Di tempat kami iriban digelar di hutan, dekat sumber air di gunung, sehingga iriban lebih banyak dilakukan oleh laki-laki daripada perempuan. Memasuki hutan bagai memasuki dimensi lain. Hutan ini terasa rimbun dan segar. Di sini manusia hanya menumpang dan berjalan di atas singgasana mereka karena tanpa manusia pun mereka akan terus memperbaiki dirinya. .

Jalur hutan ini adalah tempat bagi masyarakat lokal mencari kayu bakar, memanen kopi gunung dan rempah kemukus, mencari pakis sayur yang hanya tumbuh di hutan. Medan ini cukup berat dan kompleks, ada bebatuan, jalur menanjak dan menurun yang cukup curam, agak licin karena beberapa rembesan air membasahi tanah. Beberapa pohon beringin meliuk dalam pesonanya, wangi air dari segala penjuru datang dengan lembut.
Pada seperempat perjalanan kita akan melewati sungai yang jernih, di depannya ada air terjun yang kecil namun indah rupawan. Sungai ini didominasi oleh tumbuhan pakis, kemadu, dan tumbuhan khas hutan. Bebatuannya tidak begitu licin, dan kita dengan mudah melihat batu-batu beragam warna yang tampak cantik. Kawanan capung berterbangan. Kehadiran mereka adalah indikator bahwa sungai ini masih bersih.

Sesampainya di tujuan Mbah Rori dan para orang tua sudah menunggu di atas aliran air untuk sebuah prosesi pertama Iriban, yaitu menyembelih ayam kampung di atas aliran mata air sebagai simbol dari kehidupan bersama, kehidupan yang tidak egois. Darah ayam mengalir ke sungai, menyebar di segala sisi, dan menghilang. Namun, zat reniknya tetap terbawa di sepanjang air mengalir, memberikan kehidupan lagi bagi para makhluk air.
Ada tiga tungku darurat yang dibuat ditempat dan langsung bekerja ekstra. Empat ayam yang disembelih akan dimasak dengan bumbu yang sudah disiapkan para ibu di rumah. Pada momen seperti ini ada satu lalapan yang wajib untuk ada, yaitu daun cekode yang tumbuh liar di sekitar sungai. Mbah Harno, sebagai salah seorang penggiat kampung mengambilkan daun ini. Dengan kehadiran daun khas ini lengkap sudah menu makan siang di hutan kami.

Kelompok bapak-bapak lainnya sibuk membersihkan aliran sungai yang terhambat juga melakukan babat-babat. Mbah Rori didampingi Pak Kadus dan Pak Budi menyalakan dupa di bawah pohon besar. Mereka melakukan dengan penuh khidmat. Seolah tidak terganggu dengan kehadiran para manusia. Aroma wangi dupa yang samar-samar turut menyejukkan pagi ini, dan mengingatkan bahwa apa yang dilakukan hari ini berdampak besar untuk kelangsungan masa depan.
Anane Banyu Amergo Anane Alas. Adanya air karena adanya hutan. Sebagai simbol dari merawat alam, empat pohon beringin ditanam di pinggir sungai diiringi lagu Lir ilir yang mengalun dari mulut dan hati. Sebenarnya tanpa manusia pun alam akan pulih dengan sendirinya, namun tanggung jawab kita sebagai manusia adalah berikhtiar untuk dan merawat apa yang sudah alam berikan.

Sesi terakhir sebelum beranjak dari hutan adalah menggelar selametan dengan hidangan utama ayam ingkung. Selametan berasal dari kata "selamat" yang artinya keselamatan, kesejahteraan, sebagai doa dan harapan. Selametan identik dengan sedekahan atau sodaqohan yang merupakan simbol dari welas asih dengan berbagi kepada sesama. Pak Kadus mengantar selametan dengan baik, mengucapkan terimakasih kepada semua masyarakat yang sudah berpartisipasi, dan mengingatkan untuk tetap menjaga hutan karena
Makan pagi di hutan terasa sangat nikmat, dengan menu sederhana namun kaya makna. Daun pisang digelar, nasi dan lauk-lauk ditata. Doa berpadu dengan kenikmatan yang hangat membuat pagi itu pantas untuk dikenang sebagai sebuah momen yang mengingatkan manusia untuk menjaga lakunya agar selaras dengan alam