Konservasi Melalui Karya Seni
Kami besar di lereng sebelah utara Gunung Ungaran. Berada di kaki bukit membuat kami dimanja oleh alam setiap harinya. Sedari kecil kami tidak pernah khawatir masalah air bersih karena kami meminum air langsung dari sumbernya yang begitu jernih. Tanah yang subur membuat pohon-pohon menjulang tinggi perkasa. Para penduduk ikut memanfaatkannya untuk menanam jenis sayur, buah, rempah, dan lainnya. Para kambing dan sapi yang dipelihara warga pun tidak pernah kelaparan lantaran makanan hijau melimpah ruah untuk mereka. Setiap dari apa yang alam berikan adalah berkah yang tidak terhingga.
Sebatang kayu yang tumbang karena angin adalah anugerah bagi warga untuk menjadi penghangat di malam yang begitu dingin. Di dapur, tempat favorit para keluarga menghabiskan waktu, kayu-kayu dibakar di tungku, sambil berbincang kami minum teh atau kopi. Menikmati kehangatan dengan cara sederhana.
Bagi anak-anak alam ini adalah rumah bagi mereka yang menyediakan tempat bermain yang begitu luas. Kami memiliki sungai yang begitu jernih, hingga batu-batu hitam sampai lumut yang hijau begitu jelas terlihat. Di sana anak-anak begitu bahagia. Mencari udang dan ikan kecil dengan alat yang sederhana lalu dibakar bersama-sama.
Lahan yang subur meski dengan kontur tanah yang naik turun tidak menjadikan anak-anak cemas bermain, mereka berlarian, bermain petak umpet, gobak sogor, engklek, dan banyak permainan lainnya. Adzan ashar adalah penanda bagi mereka untuk pulang dan bersiap untuk mengaji.
Namun, berada di desa tidak membuat kami aman begitu saja. Tempat tinggal kami turut menjadi dampak dari perkembangan zaman yang kian modern. Orang-orang mulai beralih menggunakan plastik untuk membungkus makanan karena alasan kepraktisan dan mudah mendapatkannya, sampah tercecer di tempat yang semestinya bersih. Para anak muda mulai gengsi menggunakan parangnya untuk berkebun dan mencari rumput, beberapa tanah dibeli oleh pemodal, pakaian rapi dan bersih sebagai karyawan pabrik lebih menggiurkan untuk mereka. Anak-anak pun mulai mengenal gadget, dunia digital yang menawarkan kegembiraan dan kemudahan.
Pelan-pelan manusia semakin berjarak pada alam, pada rumahnya yang selama ini telah memberikan berjuta kehidupan. Namun, berdiam tanpa melakukan sesuatu juga bukan tindakan yang bijak. Kami membuka kelas, khususnya untuk anak-anak dengan memfokuskan pada upaya konservasi yang kami padukan dengan edukasi dan budaya. Salah satu bentuknya adalah mengenalkan batik pada anak dengan menggunakan warna alam yang didapat dari tumbuhan. Beberapa diantaranya kami menanamnya langsung agar anak bisa belajar lebih dekat, seperti tarum atau indigofera, mengkudu, hena, kesumba, serta strobilantes.
Kami banyak mengusung tema lingkungan dalam karya yang dibuat. Diantaranya ada empat karya masterpiece yang dicanting langsung oleh empat orang anak. Proses kreatif ini berlangsung selama beberapa bulan. Setiap pulang sekolah mereka menyempatkan untuk menyelesaikan karya mereka.
Karya-karya mereka menceritakan Gunung Ungaran. Tentang bukit-bukitnya yang tak terhitung banyaknya, tentang beberapa satwa yang sudah langka dan punah, tentang alam yang begitu menakjubkan. Berbingkai warna indigo dan coklat tua, batik-batik mereka telah bersuara menceritakan lebih daripada yang terlihat.
Profesi pembatik pastilah hal yang baru di benak mereka, bukan sebuah profesi yang sering mereka dengar. Para pembatik cilik barangkali jumlahnya pun hanya segelintir. Namun, kami berharap melalui proses belajar ini bisa memberikan wacana pada anak-anak akan profesi lain yang mungkin bisa mereka geluti dimana kemampuan mereka bisa dihargai dan tetap bersinambung dengan alam.
Untuk itu kami ingin menawarkan empat karya masterpiece mereka. Dari hasil proses penjualan batik ini akan kami gunakan sebagai modal dalam pameran batik anak yang masih mengusung tema konservasi. Dimana mereka akan mengadopsi ilustrasi karya Christina Ridrogues Sosa, seorang Botanical Art dari Meksiko dalam buku cerita anak Earth and Message for Humanity. Nantinya di dalam pameran ini kami juga ingin menyebarluaskan pesan-pesan konservasi pada buku cerita anak Earth and a Message for Humanity, Majalah Anak Aksara sebagai media kampanye kami untuk mengajak kita semua lebih peduli pada alam, bumi, yang merupakan satu-satunya rumah bagi kita semua.
Sepenggal Cerita Perjalanan dari buku Earth and Message for Humanity
Bumi. Ibu. Rumah
Dari sebuah perjalanan dan kegelisahan akan bumi yang semakin tua dan manusia yang semakin berjarak, sebuah buku cerita tentang bumi ini terwujud. Berawal dari sebuah obrolan selama 30 menit di sebuah bengkel yang tidak begitu jauh dari Museum Purbakala Sangiran-Sragen, kami terbayang-bayang tentang bumi di kala itu. Pikiran kami masih melayang pada bumi dan fosil-fosil manusia purba serta flaura dan fauna yang hidup di masa silam. Bagaimana di masa itu pasti bumi begitu eksotis lantaran alam yang masih sangat seimbang dan makhluk-makhluk yang begitu sempurna menjaga bumi.
Sosok bumi yang sebetulnya sangat dekat dengan manusia nyatanya lebih dikenal sebagai benda asing yang begitu kaku dan penuh sekat, atau seperti sebuah bola raksasa yang mengelilingi matahari dan memisahkan manusia dengan benua dan negara. Padahal bumi mampu mendekatkan jarak yang paling jauh sekalipun dalam sebuah pertemuan yang tidak kita bayangkan. Dan bumi tidak pernah bosan memberikan segala hal terbaiknya untuk kepentingan manusia. Sisi lain, tidak banyak manusia yang menghargai bumi.
Untuk itu kami ingin menghadirkan sebuah cerita tentang bumi dalam sudut pandang yang berbeda. Bumi, sebagai ibu dari manusia. Tidak lama setelah konsep buku ini dibuat kami bertemu Christina, seorang seniman dari Meksiko yang membidangi Botanical Art. Dia bersemangat membantu kami dengan ilustrasi-ilustrasinya. Melalui kehadiran buku ini kami berharap bumi semakin dikenal sebagai sesuatu yang dekat teruatama pada anak-anak. Karena bumi adalah satu-satunya rumah untuk kita semua.
Senada dengan itu makna kata ibu juga kami dapatkan dalam Bahasa Jawa. Bumi berasal dari sebuah paduan kata yaitu, Bu (Ibu) dan Mi(Mami=milikku dalam pengertian rasa yang sangat dalam) yang akhirnya menjadi sebuah kata yang familiar di Indonesia.
Buku ini kami buat sebagai bentuk kampanye lingkungan untuk bumi yang sudah semakin tua. Kami berencana ingin menyebarluaskan buku ini dalam berbagai bahasa agar pesan bumi untuk manusia semakin tersebar.